Iklan

Menu Bawah

Ustadz Ismail Asso:Dialog Papua Jakarta,Urgen

Redaksi
Jumat, 17 Februari 2023, Jumat, Februari 17, 2023 WIB Last Updated 2023-02-17T16:34:29Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini
Jakarta-Dalam berbagai group Papua yang saya ikuti dan gabung. Kebanyakan narasi komentar dan tulisan postingan lebih banyak penolakan rakyat Papua atas berbagai kebijakan negara terutama Daerah Otonomi Baru (DOB) dan alasan kekhawatiran segala dampak negative sebagai konsekuensi yang akan mengikutinya. 

Muncul wacana perlu adanya Dialog Papua-Jakarta. Gagasan dialog bukan baru tapi sudah lama direkomendasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melalui berbagai kajian ilmiah kepada Pemerintah Pusat. 

Berbagai kalangan profesional terutama para penggiat HAM dan demokrasi didalam dan diluar negeri sama menyarankan dan menyuarakan satu hal kepada pemerintah pusat yakni perlunya dialog kedua pihak Papua-Jakarta. 

Saran ini selalu dipahami sebagai, jalan mulus, pintu masuk, untuk mewujudkan keinginan Papua Merdeka oleh Pemerintah Pusat. Sesuatu hal yang paling ditakuti Jakarta bila mendengar kata dialog Papua - Jakarta oleh berbagai kalangan penggiat HAM dari dalam negeri dan apalagi oleh pihak luar negeri.

Mereka umumnya menyuarakan perlunya DIALOG pusat (Jakarta) dan daerah (Papua), sebagai langkah jedah kemanusiaan begitu banyak korban jiwa warga sipil Papua tanpa dosa terus berjatuhan tanpa berkesudahan setiap saat sepanjang waktu Papua dalam NKRI.

Lagi-lagi Jakarta seakan sangat takut mendengar kata DIALOG. Seolah-seolah berdialog membuat Papua langsung Merdeka lepas dari NKRI sebagai alasan utama yang paling ditakuti pihak yang mewakili Indonesia. 

Bicara Dialog dari dulu Jakarta sangat takut. Jakarta trauma dengan insiden ketika Presiden BJ Habibie menerima delegasi 100 orang perwakilan Papua di Istana bersepakat ingin keluar dari NKRI. 

Itulah sebabnya dari satu Presiden ke Presiden lain Indonesia selalu takut dan menolak melakukan dialog untuk jedah kemanusiaan di Papua. Selain Presiden Gus-Dur dan BJ. Habibie semua Presiden Indonesia sama, menolak dialog dengan perwakilan rakyat Papua. Baru-baru ini Presiden Jokowi ditanya soal dialog, Presiden menyatakan dialog dengan pembangunan dan kesejahteraan.

Padahal tanpa adanya dialog kedua bela pihak (Jakarta-Papua) pembangunan dan Kesejahteraan Papua hal muspra dapat terwujud. Berbagai kalangan profesional seperti LIPI merekomendasikan dialog. Bahkn tidak sedikit saran perlunya dialog datang dari pihak TNPPB-OPM sendiri Jakarta sangat takut berdialog. 

Pasca penahanan LE muncul banyak aksi sporadis TPPN-OPM terakhir penyanderaan Pilot Susi Air, asal NZ. Hingga saat ini (tulisan ini dibuat) belum jelas nasib pilot asal New Zeland (Selandia Baru) apakah akan selamat (hidup) atau akan (mati) dibunuh.

Kebutuhan dan desakan DIALOG jika tak digubris pemerintah pusat Papua kedepan dipastikan terus bergejolak dalam skala terbatas tapi rutin, padahal jawaban pemerintah pusat dialog dalam bentuk “pembangunan” & “kesejahteraan”, mustahil bisa terwujud tanpa ada jaminan keamanan dan ketertiban di daerah tak akan terwujud secara maksimal.

DIALOG tak selalu harus dipahami mempertahankan masing-masing keinginan secara agak memaksa kecuali bersikap seperti itu bisa terjadi, pihak bersalah mau menyangkal dengan segala upaya sebagai tiada lain modus taktik penyangkalan kebenaran atas ketidakbenaran.

DIALOG sejatinya mencari solusi jalan tengah menghentikan seluruh aksi pembunuhan dan kekerasan militer kedua kelompok bertikai banyak menewaskan korban nyawa rakyat sipil tak berdosa oleh perang antara kedua kelompok bersenjata.

Karena itu DIALOG perlu dan pemerintah pusat perlu buka diri dan harus mencoba berani, tak perlu takut dan menyerah pada kelompok sipil bersenjata di Papua untuk jedah kemanusiaan sebelum seluruh kebijakan pembangunan dilanjutkan.

Kesimpulan sederhana pemahaman Dialog Pemerintah Pusat yang mengangap bahwa keingingan dialog Papua tak berbeda tapi isinya, “Mau Minta Merdeka”, perlu diperbaharui kembali. Seakan bicara dialog selalu seakan bicara merdeka bukan pembangunan. 

Pemahaman lama seperti zaman Pak Presiden Soeharto, Otoriter, kepala batu, tidak boleh dinasehati oleh rakyat tapi hanya bisa dibisiki dukun politik (profesor politiknya), untuk memaksakan kehendaknya, bergaya otoritarianisme, cara pikir model itu sudah ketinggalan zaman, primitive, saat ini sudah era modern, anak-anak Papua sudah sekolah (kuliah) jauh di Amerika dan Jerman. 

Cara pikir anak-anak Pupua kini sudah jauh lebih modern, melampaui era modern, dan keinginan setengah memaksa jubir pemerintah  dianggap New primitive.

New Primitive karena pola pikir model itu sama sistem kepala suku, semua atas keinginan kepala suku tanpa boleh dibantah, demikian cara pikir pejabat negara primitive ala Kepala Suku primitive Jakarta yang diwakili Juru bicara PEMERINTAH. 

Dunia hari ini dan esok, dunia masa kini, dialog adalah keharusan karena itu maenstreem era kini dan masa depan dan itu sedang trend dunia pikir orang modern.



Sumber:Ismail Asso, Ketua Forum Komunikasi Muslim Papua.
Komentar

Tampilkan

Terkini